METODE PENGUKURAN / PEMETAAN TEODOLITE
Metode atau
cara pengukuran digunakan untuk perhitungan, pengolahan, dan koreksi data
untuk menentukan posisi (koordinat) setiap titik yang terukur dalam wilayah
pemetaan. Secara umum metode ini dapat dibagi sebagai berikut :
Metode
pengukuran pada alat ukur sederhana :
1.
Pengukuran jarak
Apabila
jarak antara dua titik yang akan diukur lebih panjang dari alat ukur yang ada
maka dua tahapan yang harus dilakukan :
-
pelurusan (pembanjaran)
Pembanjaran
dilakukan oleh dua orang, seorang membidik sementara yang lain menancapkan
yalon sesuai dengan komando dari si pembidik. Seprti yang terlihat pada gambar
x, misalnya akan diukur jarak AB, dua buah yalon harus ditancapkan di atas
titik A dan B. Selanjutnya pembidik berdiri di belakang yalon A dan mengatur
agar mata pembidik satu garis dengan yalon A dan B. Keadaan ini dapat diketahui
jika mata si pembidik hanya melihat satu yalon saja. Di antara yalon A dan B
harus ditancapkan beberapa yalon atau patok yang jaraknya terjangkau oleh alat
ukur.
Seringkali
dijumpai rintangan pada areal yang akan diukur sehingga pembanjaran tidak dapat
dilakukan seperti gambar diatas. Maka pembanjaran disini perlu perlakuan yang
berbeda, dikarenakan :
- Kondisi lapangan yang bergelombang/curam/berbatasan dengan tembok tinggi.
- Ada bangunan/rintangan di tengah areal yang akan diukur, dan sebagainya.
-
pengukuran jarak secara langsung
Pengukuran
jarak dua titik dapat dilakukan dengan menggunakan kayu meter, rantai meter,
pita meter.
Untuk
permukaan tanah yang miring, pengukuran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan pita/kayu ukur yang diatur horizontal dengan bantuan nineau serta
mengukur langsung tanah yang miring.
2.
Pengukuran sudut miring
Pengukuran
sudut miring sangat diperlukan dalam memperoleh informasi jarak (D) dan beda
tinggi (BT) secara tidak langsung.
Alat yang
biasanya digunakan adalah abney level, yang penggunaannya dengan membidik
langsung pada puncak obyek yang diinginkan kemudian menggerakkan niveau yang
dihubungkan dengan penunjuk skala hingga berada pada posisi tengah benang.
Hasilnya dapat dibaca langsung pada penunjuk skala tersebut.
3.
Pengukuran Beda Tinggi (BT)
Pengukuran
beda tinggi antara dua titik di lapangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
cara langsung dengan menggunakan alat ukur yang dipasang mendatar, serta cara
tidak langsung dengan mengukur panjang miringnya dan sudut yang terbentuk terhadap
lereng.
Pengukuran
dengan waterpass instrumen
- Pengukuran Jarak dan Beda Tinggi
Pada
waterpass pengukuran jarak memiliki rumus :
D = 100. (Ca
– Cb)
Untuk
pengukuran beda tinggi (BT) antar dua titik dapat dihitung berdasarkan tinggi
alat dan nilai kurva tengah, sehingga dirumuskan menjadi :
BT = TA-Ct
2 .
Pembacaan sudut horizontal
Sudut arah
adalah sudut horizotal yang dibentuk oleh perpotongan suatu garis dengan
meridian bumi (utara-selatan) . dalam pengukuran , untuk menyatakan besarnya
sudut dikenal dua cara yaitu :bearing dan azimuth
Biaring
merupakan sudut arah yang diukur dari utara atau selatan magnet bumi ke titik
lain searah atau berlawanan dengan arah putaran jarum jam dengan sudut kisaran
antara 0- 90. Azimut merupakan sudut arah yang diukur dari utara magnet bumi ke
titik yang lain searah jarum jam. Sehingga mempunyai kisaran attara 0-360
Pengukuran
Dengan Theodolit
1.
Pembacaan sudut horizontal (Az)
Sudut arah
adalah sudut horisontal yang dibentuk oleh perpotongan suatu garis dengan
meridian bumi ( utara-selatan). Dalam pengukuran, untuk menyatakan besarnya
sudut dikenal dua cara, yaitu : “Bearing” dan “Azimuth”.
Bearing
merupakan sudut arah yang diukur dari utara atau selatan magnet bumi ke titik
lain yang searah/berlawanan dengan arah putaran jarum jam, dengan sudut kisaran
antara 0-90. Azimuth merupakan sudut arah yang diukur dari utara magnet bumi ke
titik yang lain searah jarum jam sehingga mempunyai kisaran antara 0-360.
2.
Pembacaan sudut miring (V)
Sudut miring
merupakan sudut yang dibentuk oleh garis bidik teropong dengan bidang
horisontal. Pada umumnya besarnya sudut horisontal dan vertikal terdapat dalam
satu mikrometer, namun adapula yang dipisahkan.
3.
Pengukuran jarak (D) dan beda tinggi (BT)
Jarak
horisontal (H) dan Jarak (D)
D = 100 (
Ca-Cb). Cos α
H = D. Cos α
H = 100 ( Ca
– Cb). Cos2 α
Beda Tinggi
(BT)
BT = H. Tg α
– h
4.
Penggambaran posisi tiap titik kenampakan pada peta
Penggambaran
dapat dilakukan secara grafis dengan busur derajat untuk menentukan sudut arah
dan jaraknya dengan mistar (sesuai skala). Cara lain adalah menggunakan sistem
koordinat yang terdiri atas dua saling tegak lurus. Posisi tiap sasaran yang
diukur digambarkan dengan menghitung harga absis dan ordinatnya.
5.
Poligon
Poligon adalah
rangkaian titik-titik yang dihubungkan secara berurutan. Jika titik awal dan
titik akhir bertemu, disebut sebagai poligon tertutup. Sebaliknya jika titik
awal dan titik akhir tidak bertemu maka disebut sebagai poligon terbuka.
Poligon
digunakan sebagai kerangka dasar di dalam pengukuran kenampakan di lapangan.
Poligon terbuka lebih sering untuk pekerjaan perencanaan/perbaikan jalan,
saluran, irigasi dll. Poligon tertutup untuk pembuatan peta areal/wilayah dan
kontur.
Untuk
pembuatan poligon tertutup, pengukuran sudut arah cukup dilakukan pada awal
pengukuran saja. Sudut arah untuk titik berikutnya didasarkan pada sudut arah
awal (titik sebelumnya) dari sudut dalam bersangkutan. Sudut dalam untuk
menghitung sudut arah (azimuth) adalah sudut dalam terkoreksi. Tiga parameter
yang digunakan sebagai pedoman adanya penyimpanan dan perlu koreksi adalah :
- Σ sudut dalam = (n-2) x 180
- Σ D sin α = 0
- Σ D cos α = 0
Jika data
pengukuran menyompang dari syarat di atas, maka poligon tidak tertutup dan
perlu adanya koreksi.
Persamaan
umum dalam menghitung sudut arah adalah :
Azimuth (α)n
= α (n-1) + 1800 – Sn
Untuk
koreksi secara grafis, maka polygon yang tidak tertutup setelah tergambar dapat
dikoreksi dengan menghitung sudut atau cara graphical plot.
Daftar Pustaka
Sudaryatno,
2001, Petunjuk PraktIkum Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta : Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar